Ketakutan hanya ada di kepala |
Psychology of Fear
Dulu, saya pernah bekerja di beberapa grup media. Salah satu pemimpinnya sangat menyukai dan selalu meminta para wartawan untuk mencari dan menyajikan berita maupun features dengan pendekatan “psychology of fear.”
Pandangannya itu serupa dengan pemikiran Orde Baru: masyarakat itu masih “bodoh” sehingga harus diajari, disuapi. Supaya patuh, ya harus ditakut-takuti.
Supaya sehat, ya mesti ditakut-takuti soal penyakit. Supaya aman, ya harus ditakut-takuti soal maling, begal, perampok dan pemerkosa. Dan semacamnya.
Maka koran dan majalah yang dipimpinnya pun penuh dengan berita semacam itu. Memang laris luar biasa. Efek positifnya, ya lebih banyak dirasakan oleh si pemilik dan pemimpin itu, karena keuntungan finansial jadi menggunung.
Keuntungan buat pembaca? Untuk sementara, rasa ingin tahu Anda terpuaskan. Tetapi, tanpa Anda sadari juga menutup pemikiran Anda. Wawasan Anda menjadi sempit. Pola pikir Anda malah menjadi tidak runut, tidak logis, dan tidak rasional.
Hlo, koq bisa?
Rasa takut, khawatir dan cemas itu menimbulkan benteng di dalam pikiran. Memblokir jalan pikiran Anda. Bahkan, tak jarang, ketakutan itu membuat Anda menjadi tak masuk akal, bahkan tak waras. Ini antara lain dipengaruhi oleh kimiawi otak yang dilepaskan oleh kelenjar tertentu ketika Anda dilanda ketakutan atau kecemasan.
(Contoh ekstrimnya adalah ketidakwarasan orang-orang – yang kadang-kadang adalah tokoh agama – pada tahun 1960-an ketika membunuhi tetangga atau saudaranya sendiri karena takut dikaitkan dengan PKI.)
Jadi, apa saja yang disajikan oleh koran atau teve itu Anda percayai begitu saja. Padahal, bisa saja beritanya sama sekali tidak memenuhi kaidah jurnalistik yang mesti berimbang.
Bahkan, setiap kali mengikutinya, dengan mudah kita menemukan bahwa berita itu tidak lengkap; tidak dapat menjawab pertanyaan 4W + H. (Tak perlu menjawab pertanyaan “mengapa” karena itu lebih cocok untuk tulisan atau dilm dokumenter yang berbentuk analisis).
Bukti bahwa pemikiran menjadi buntu adalah betapa berita dengan pendekatan “psychology of fear” ini dengan cepat menyebar. Link-nya di-share oleh ratusan bahkan ribuan orang dalam tempo sekejap. (Terbukti saat Pemilu Presiden kemarin, bukan?)
Sebagai contoh, saya pernah menonton bahwa kerupuk kulit itu bahannya berasal dari kulit sepatu bekas. Okay, memang bisa saja terjadi. Tetapi apakah secara bisnis yang mereka lakukan itu feasible?
Mungkinkah mendapat cuan (untung)? Memangnya, sepatu yang asli dari kulit itu banyak? Bukankah bahkan sepatu yang berharga ratusan ribu saja bukan dari kulit asli, artinya dicampur dengan bahan lainnya?
Itu pertanyaan dari awam. Hla, koq ya nggak bertanya kepada ahli kimia dan ahli produk kulit, apakah mungkin kulit yang sudah menjadi sepatu diolah kembali menjadi kerupuk?
Mengapa pertanyaan semacam dan serupa itu tak lahir di kepala para penonton dan pembacanya? Ya karena belum-belum sudah dipenjara oleh rasa takut. Maklum, judul beritanya biasanya sengaja dibuat seram (biasanya juga panjang, tak memenuhi kaidah judul dalam ilmu jurnalistik).
***
Psikologi ketakutan ini juga kerap dipakai, dan belakangan ini makin marak, dalam kehidupan relijius. Meski ajaran aslinya orang diminta berbuat baik dan menghindari yang salah, misalnya, pihak-pihak yang berkepentingan sengaja lebih menekankan rasa takut ini.
Jika kau tidak berbuat ini, kau dihukum. Bila kau bertindak ini, kau tidak dihukum. (Pihak berkepentingan ini bisa saja tokoh agama atau kelompok, tetapi juga merembet pada banyak orangtua.)
Rasa ketakutan dihukum (mis, masuk neraka) itu begitu kuat sehingga bahkan sampai me-redefinisi konsep “baik” dan “buruk.”
Pada zaman saya masih TK, berteman dengan siapa pun dengan latar belakang agama apa pun, itu baik. Menyapa mereka yang berkeyakinan berbeda itu baik.
Kini, oleh pihak-pihak yang ketakutan dan memanfaatkan ketakutan itu, yang dulu baik bisa saja berubah menjadi buruk.
Nilai-nilai universal, etika dan moralitas, berubah-ubah bagai selera, akibat rasa takut itu.
Begitu berakarnya rasa takut itu sampai-sampai peribahasa “darah lebih kental dari segalanya,” tidak berlaku lagi. Rasa takut yang memenjarakan pikiran itu membuat seseorang bersedia memusuhi saudaranya, meninggalkan keluarganya, melawan orangtuanya.
***
Psikologi ketakutan ini belakangan juga menyuat ketika membahas kasus Yuyun, remaja perempuan yang diperkosa secara biadab hingga meninggal oleh belasan laki-laki.
Masih ada sebagian pihak yang menyalahkan korban dengan lebih banyak membahas cara-cara menghindari perkosaan.
Mengapa tidak membahas bagaimana cara agar tidak memperkosa? Mengapa “mendidik” perempuan, dan tidak “mendidik” lelaki?
Itu membuktikan betapa kuatnya nilai-nilai seksisme merasuk ke dalam budaya sehari-hari, menjalar ke pikiran banyak orang.
Padahal nilai-nilai seksisme tersebut juga berdasarkan psikologi ketakutan. Hantunya ada di luar sana, maka lebih baik kau memenjarakan dirimu, melindungi dirimu. Biarlah hantunya bebas berkeliaran. Itulah biadabnya psikologi ketakutan.
***
Saya sepakat bahwa pisau itu tajam. Tetapi saya tidak sepakat bahwa pisau itu berbahaya.
Ketajaman pisau itu, memang bisa berbahaya, jika dipakai oleh batita atau balita, tanpa pengawasan orangtua. Tetapi, anak besar kemungkinan malah akan mengambil pisau itu jika ia ditakut-takuti.
Sebaliknya, ia akan mampu menggunakan pisau dengan benar dan tidak melukai dirinya, jika diajarkan manfaat pisau itu dan cara memegang, cara mengiris, cara memotong yang benar secara detail.
Saya sepakat bahwa hubungan seks itu berkat bagi mereka yang sudah dewasa dan berada di dalam hubungan berkomitmen yang diakui.
Tetapi saya tak sepakat jika anak dan remaja ditakut-takuti soal seks. Juga soal narkoba. Dan berbagai perbuatan buruk lainnya.
Respon menakut-nakuti ini menggambarkan bahwa pelakunya juga masih terjebak dalam serangkaian ketakutan.
Ia belum merdeka sehingga tidak cukup kreatif untuk mencari solusi alternatif atas masalah yang dihadapinya – misalnya, anak tidak mau makan, tak mau belajar, main game terus, dsb. (Ini juga berlaku bagi pejabat pemerintah yang kerap menakut-nakuti masyarakat).
Respon menakut-nakuti ini juga menggambarkan kemalasan kita untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih lengkap, yang menyeluruh. Ini bagian dari kebiasaan mengambil jalan pintas, menyerobot, yang akhirnya cuma menemui jalan buntu.
Kepada siapa pun, entah kepada anak-anak, karyawan, orang lain, atau bahkan diri sendiri, lebih baik menggunakan pendekatan yang mendewasakan, pendekatan yang menumbuhkan. Ketakutan hanya membuat anak-anak dan diri sendiri menjadi kerdil. DB
(sumber : Dono Baswardono)