Kenapa saya tidak (belum) berjilbab?
Sebelumnya banyak yang nanya-nanya kenapa foto-foto di akun saya gak pakai jilbab, padahal saya muslim dan tinggal di Aceh, yang notabene nya daerah dengan hukum syariah yang kuat.
Hmmm…saya harus mulai darimana ya?
Saya gak bilang saya gak berjilbab karena saya belum siap, belum dapet hidayah, mau jilbabin hati dulu, dan segala macem. Enggak. Saya gak berjilbab karena sesimpel saya belum mau.
“Kenapa gak mau sih? Jilbab itu kan wajib. Ada di Alqur’an. Dosa hukumnya seorang perempuan yang gak berhijab bla bla bla..”
Okay, kalau dilihat dari kacamata agama, mungkin saya memang bukan perempuan yang baik, calon penghuni neraka, dan seburuk-buruknya perempuan. Bahkan ada quotes2 yang bilang, “perempuan yang berhijab belum tentu baik, tapi perempuan baik sudah pasti berhijab.”
Menurut saya, itu secara eksplisit menggambarkan perempuan tidak berhijab sudah pasti gak baik. Kalau perempuan itu baik pasti dia memilih berhijab, dan kalau dia memilih tidak berhijab ya dia bukan perempuan yang baik.
Tbh, dulu saya pernah hijrah dan memakai pakaian yang syar’i. Dan jujur saja, perasaan yang mendominasi saya waktu itu saya sering merasa lebih baik dari perempuan-perempuan yang masih buka aurat.
Dalam hati saya mengasihani mereka, bahkan cenderung merendahkan mereka. Saya gak bilang semua perempuan yang hijrah dan berjilbab begitu ya, ini hanya pengalaman pribadi saya saja.
Dan waktu itu saya bangga sekali dengan jilbab syar’i saya. Saya senang laki-laki memandang saya sebagai perempuan baik-baik, perempuan sholeha, istri idaman, dll. Tapi kemudian saya berpikir, pujian-pujian itu semua dan bagaimana orang menilai saya itu sama sekali gak berguna.
Yang paling tau diri saya ya saya sendiri. Di hadapan teman-teman ngaji saya, saya ngakunya gak pacaran. Tapi saya diam-diam tetap chattingan dan pergi kencan dengan pacar saya. Saya merasa jadi manusia paling munafik waktu itu.
Dan setelah saya berpikir lebih jauh, dulu ketika saya belum berhijab dan banyak melakukan kebaikan, gak ada seorangpun yang “mengapresiasi” kebaikan saya dan melabeli saya perempuan yang baik. Tapi ketika saya berhijab dan saya belum melakukan apa-apa, orang-orang sudah melabeli saya sebagai perempuan baik-baik (bukan hanya perempuan yang baik).
Saya gak tau keputusan saya salah atau benar, saya cuma ingin di pandang dan dinilai baik karena memang saya baik, bukan karena pakaian dan jilbab saya.
Dan yang paling penting, saya tau saya belum mampu menyelaraskan hijab dengan kehidupan saya. Ya, saya akui saya memang masih suka hal-hal yang bersifat duniawi. Saya suka ngedance, suka cosplay, masih narsis suka selfie, masih suka hangout bareng cowok-cowok (ikhtilat), masih suka pacaran, dan masih banyak yang lain.
Walau banyak yang bilang itu bukan jadi penghalang dan alasan buat seorang perempuan berjilbab, saya tetap belum mau. Karena ketika sudah berhijab perempuan seolah dituntut untuk lebih menjaga tutur kata dan sikap. Saya gak bisa. Saya masih ingin menjadi apa adanya diri saya.
Saya merasa malu dan gak etis ketika nanti saya sudah berhijab syar’i saya masih ngedance, saya masih pacaran, masih hangout bareng cowok-cowok, masih photo2 narsis. Sementara saya masih senang itu semua.
Ini bukan masalah pantas atau tidak pantas, tapi perasaan diri saya sendiri yang menolak untuk melakukan itu. Saya gak sanggup menahan beban rasa malu dan canggung.
Toh saya tidak lagi berusaha membangun citra apa-apa, dan memukau siapa-siapa. Kalau mau menilai saya, ya nilailah sebatas kapasitas dan apa yang ada di diri saya. Nilai saya sebagai individu yg utuh tanpa embel-embel agama dan apa yang saya kenakan.