Anak Sekolah |
RANKING berapa (anak) kamu?
Sementara kegiatan belajar mengajar harian itu tidak untuk dilombakan
Emangnya betah mempertahankan ranking dari klas 1 SD sampai klas 3 SMA
Dijamin kelenger……………….
Note:
Saya juga kelenger, padahal nggak ber-ranking:P
Kenapa juga rangking jadi tolak ukur keberhasilan siswa sih… Sampai ada kesan “ada rengking 1 mama/papa sayang tak ada rengking omelan yang layak kau dapat”… Hadeh kasihan anak-anak sudah berat pelajaran di sekolah eh di rumah makin berat juga beban hidupnya kena omelan…
Lingkungan pendidikan yang menyebabkan seperti itu artinya masyarakat kita sendiri terutama orang tua yang menciptakannya.. bahwa suatu kebanggaan bagi orang tua jika sang anak berprestasi dan di upload di mana mana…
Ini memang terjadi, di raport tidak tertulis rangking, tapi ketika mengikuti seleksi di perguruan tinggi diminta rangking. Akhirnya kita (sebagai guru) harus memberi rangking. Di negeri kita menjadi “tampak” terbaik masih sulit dihilangkan.
Pada umumnya kita juga sebagai orangtua ingin yang terbaik, sehingga mengira yang terbaik adalah menjadikan anak sebagai pemenang…. padahal pada saat kalah, sangat banyak hikmah yang bisa dipelajari dan menjadi moment terbaik disaat hikmah yang dippelajari sudah terpahami
Sistem ranking di sekolah-sekolah kita membentuk pribadi anak-anak kita menjadi jiwa pesaing, jiwa kompetitif, sehingga dengan temannya sendiri saling menjatuhkan bahkan dengan saudara sendiri sekalipun. Ini baru di dunia sekolah, belum lagi ntar pas di dunia kerja, bakal saling sikut-sikutan & senggol sana sini.
Sebenarnya gak ada yang salah untuk berkompetisi, dalam hidup pun kita selalu berkompetisi. mungkin yang perlu ditanamkan adalah dalam berkompetisi harus jujur dan berintegritas, bukan menang-menangan dengan cara yang ngawur…
Bahkan waktu masih menjadi sperma aja manusia sudah hidup dalam kompetisi, jadi tidak ada alasan bahwa hidup ini bukan persaingan tetapi kita hidup harus bisa menempatkan diri pada porsi masing-masing kita,… dengan ahlak yang baik kita pasti bisa menusiakan manusia…
Kalau di luar negeri itu sistem pendidikannya tidak ada ranking-rankingnya cuma ada daftar nilainya.
Karena katanya di luar negeri lebih mementingkan anak mampu mengungkapkan isi pikiran dengan terstruktur dan sistematis serta diajari jiwa kerjasama tim sehingga nanti dimanapun bisa cepat beradaptasi dan bersosialisasi. Itulah mengapa di sana mental yang ada adalah “How Can I help u”.
Disana setiap orang bisa bekerja dengan passionnya masing-masing dan profesi apa saja dihargai tidak seperti disini, orang tua selalu menuntut seperti ini, seperti situ itu, kamu harus jadi ini, jadi itu, lama -lama si anak malah kabur karena bingung mau jadi apa dan mau kemana.
Memang segala sesuatu yang berlebih (ekstrim) pasti malah jadi negatif. Pertama, yang penting paradigma orang tua terhadap lomba, ya harus benar. Kalau memang anak itu tidak suka ya jangan dipaksakan. Misalnya, lihat ada lomba di majalah, si mamanya, langsung daftarin, tanpa menelaah apakah anak memang berbakat dalam bidang lomba tersebut atau menanyakan terlebih dahulu apa anak mau ikut lomba itu.
Yang kedua, anak mungkin ada yang senang ikut-ikut lomba, karena memang dia menemukan pengalaman baru ketika lomba, misalnya bisa bertemu teman baru, dapat bingkisan dari si penyelenggara lomba,dll. Tapi yang trpenting, ortu harus menjelaskan kepada anak bahwa ketika dia ikut lomba, tujuannya bukan untuk bersaing tapi untuk mengasah kemampuannya.
Misalnya, kalau ikut lomba mengarang, anak mau ga mau jadi berlatih. Memang banyak cara yang bisa dipakai untuk anak berlatih, tapi alangkah baiknya bila anak mengalami latihan melalui berbagai kesempatan. Dengan adanya penjelasan dari orang tua, anak jadi punya cara pikir yang benar tentang sebuah lomba.
Jadi intinya, jangan ekstrim ikutin anak lomba ini itu, tapi juga jangan ekstrim “tidak” mengikutsertakan anak dalam lomba apa pun.
di Indonesia muridnya tau sedikit hal dari banyak disiplin ilmu.. di usa dan eropa, muridnya tau banyak hal dari sedikit disiplin ilmu.. karena mereka dari awal dah dalam kurikulum spesialisasi.. mereka pilih jalur mana yang mereka inginkan dan benar-benar hebat di hal itu… kenapa indonesia ga seperti mereka???
Memang seharusnya kita seperti itu terhadap anak-anak kita. jangan melulu mendorong mereka dengan pelajaran akademis. padahal pelajaran lain tentang bagaimana seharusnya mereka hidup di tengah-tengah masyarakat tidak pernah kita ajarkan. saya pribadi tidak mau menekankan akan peringkat mereka di kelas. yang penting mereka bisa dan menguasai materi.
di USA, semua pekerjaan dihargai. Contohnya boss dan tukang cuci piring makan bareng di Mac D… anak-anak di sekolah menceritakan tentang ayah mereka yang hero.. seorang cuci piring, delivery food, jaksa, pegawai pemerintah, tukang sampah dll tanpa rasa malu… jujur menganggap ayah nya hero penopang keluarga.
Sementara di Indonesia anak seorang dokter atau pejabat pasti merasa ayah nya lebih hebat dari teman kelasnya yang ayahnya tukang pungut sampah. Di USA gaji pemungut sampah jauh lebih besar dari manager sebuah bank.
Semua pekerjaan dihargai.. makin keras dan berbahaya makin besar gajinya.
Tidak kalah dengan saya waktu sekolah “dulu disekolah kita juga diajarkan kerja sama… murid-murid yang otaknya lebih mampu… mengerjakan soal dan kami murid-murid yang otaknya lebih berakal sama-sama mencatat apa yang telah murid pintar tadi kerjakan.. sehingga timbulah kerja sama.. satu kerjaan yang dicatat bersama-sama”
Hahahah…. Ini mah namanya nyalin bukk … alias kerja bakti….. kwkkkw (malah bercanda)
Dan sebaiknya kita jangan menyalahkan orang lain/ sistem… Kalau sudah tahu salah jangan diikuti… Mari berbenah dimulai dari diri sendiri.
Memang benar hidup bukan melulu soal kalah dan menang, dan susah juga mengubah mindset yang sudah mendarah daging!